Halo Sahabat Pustaka !
Pada unggahan ini kami akan membagikan cerita pendek anak yang berjudul 'Luki dari Ujung Negeri' karya Imam Arifudin. Simak kisah Luki dan kawan-kawan di bawah ini yuk !
Hai, nama saya Luki Desfran Sarwa. Orang-orang biasanya memanggil saya dengan nama Luki. Saya ingin berbagi cerita kepada teman-teman tentang pengalaman saya mengikuti Jambore Nasional beberapa waktu lalu.
Saya sekolah di SD Pasir Putih Raja Ampat. Sejak kecil, hobi saya membaca. Saya paling senang membaca cerita-cerita dongeng. Walau sekolah saya jauh dari kota, saya tidak ingin kalah dengan anak-anak yang bersekolah di kota. Sekolah saya memang berada di perbatasan, tetapi saya tidak ingin ilmu yang saya miliki ikut terbatas.
Cita-cita saya sederhana saja. Saya ingin melihat luasnya Indonesia. Saya yakin Indonesia itu sangat indah. Jadi, saya ingin melihat keindahan itu. Di sekolah, Ibu Guru Ester pernah bertanya kepada saya dan teman-teman. “Siapa bisa menyebut ada pulau apa selain Papua di Indonesia?” tanya Bu Ester.
Kami semua diam.
“Kitong tahu Papua saja. Itu sudah, Bu Guru,” kata salah satu teman saya.
“Maluku, Bu Guru. Selain itu, ada Jawa, Sumatra, dan Kalimantan,” kata saya yakin.
“Iya, Luki, kamu pintar! Boleh dapat tahu dari mana ko Luki?” tanya Bu Guru.
Dalam berbicara, ada keunikan tersendiri di Papua. Kami di Papua biasa menyebut kata kamu atau kau dengan sebutan ko. Selain itu, ada pula kata kitong yang berarti ‘kita’. Ada juga kata tara yang berarti ‘tidak’ dan kata su yang berarti ‘sudah’. Ada pula pu yang berarti ‘punya’. Selain kata-kata yang unik, cara bicara kami juga unik.
“Saya ada dapat jawab dari buku, Ibu Guru. Kemarin saya punya bapak kasih saya buku kecil, Bu. Bapak bilang petakah, saya tara ingat, Bu,” jawab saya.
“Ya. Itu peta Indonesia, Luki!” ucap Bu Guru. “Nah, kasih tepuk tangan untuk Luki! Dia tahu karena membaca! Terima kasih, Luki,” lanjut Bu Guru.
“Nah, berikutnya siapa su pernah pergi ke Jawa?” tanya Bu Guru.
Kami semua diam.
“Siapa su pernah pergi ke Sumatra?” tanya Bu Guru.
Kami semua diam.
“Siapa su pernah pergi ke Kalimantan?” tanya Bu Guru.
Kami semua diam.
Ibu Guru Ester melihat kami semuanya menundukkan wajah.
“Siapa mau pergi ke Maluku?” tanya Bu Guru.
“Saya, Bu Guru!” kami semua menjawab.
“Siapa mau pergi ke Sumatra?” tanya Bu Guru.
“Saya, Bu Guru!” kami semua menjawab.
“Siapa mau pergi ke Jawa?” tanya Bu Guru.
“Saya, Bu Guru!” kami semua menjawab.
“Kitong semua bisa pergi ke mana pun kitong mau,” kata Ibu Guru Ester lagi.
“Tetapi, kitong tara ada uang, Bu Guru!” ucap teman saya.
“Kitong bisa pergi jauh biar kitong tara ada uang. Mau tahu caranya?” tanya Bu Guru.
“Mau, Bu Guru!” kami semua menjawab.
“Kitong harus mau membaca dan rajin belajar,” jawab Bu Guru dengan keras.
Sejak itulah saya tidak pernah bosan untuk membaca. Saya selalu ingat nasihat Ibu Guru Ester bahwa saya harus rajin membaca dan belajar. Sekarang saya duduk di kelas 6. Cita-cita saya masih sama, yaitu saya ingin melihat Indonesia. Hari ini Ibu Guru Ester akan memberi kabar bahagia untuk kami anak-anak SD Kampung Pasir Putih. Kami sudah tidak sabar ingin mendengar informasi yang akan disampaikan Ibu Guru Ester.
“Mungkin sekolah kitong akan dapat bantuan komputer dari kabupaten,” seru Asrin, teman kelas saya.
“Ah, tara mungkin itu. Sekolah kitong bakal dapat guru barukah?” sela Delila, teman kelas saya yang lain. Di tengah-tengah perdebatan, tiba-tiba Ibu Guru Ester datang. Kami semua yang tadinya berisik pun akhirnya diam.
“Selamat pagi, Anak-Anak! Hari ini Ibu Guru sudah kasih janji kepada kalian semua, ya. Ibu Guru akan kasih dengar satu kabar bahagia. Su siap dengar?”
“Siap, Bu Guru!” teriak kami.
“Baik! Kemarin Ibu Guru baru dapat kabar dari kota. Sekolah kita diminta untuk mengirimkan satu orang anak yang nantinya akan dikirim ke Jakarta. Siswa yang terpilih akan mengikuti kegiatan jambore nasional. Siapa yang tahu Jakarta di mana?” jelas Bu Guru.
“Di Sumatra,” seru Asrin.
“Bukan, Bu Guru. Di Kalimantan, Bu,” teriak Delila.
“Bukan, Bu. Jakarta di Jawa toh, Bu Guru?” seru saya yakin dan berani.
“Iya, Luki, kamu benar! Anak-Anak, Jakarta itu ada di Jawa. Jauhnya mungkin ribuan kilometer dari kitong pu sekolah,” ucap Bu Guru Ester.
“Siapa mau ke Jakarta?” tanya Bu Guru Ester.
“Saya, Bu Guru! Saya, Bu Guru! Saya, Bu Guru!” semua murid berteriak sembari mengangkat tangan.
“Tetapi tidak bisa semua anak pergi ke sana toh,” ucap Bu Guru.
“Yah!” Murid-murid tampak kecewa.
“Siapa yang sekolah kalau kalian pergi ke Jawa semua? Hanya ada satu anak yang akan pergi ke Jawa mewakili kitong pu sekolah. Besok kitong akan adakan seleksi. Semua siswa boleh ikut seleksi. Jadi, siap-siap, ya!” kata Ibu Guru Ester.
“Biar saya saja yang mewakili sekolah, Bu Guru,” teriak Delila memaksa.
“Saya saja, Bu Guru. Saya mau!” sela Asrin.
“Deli dan Asrin nanti bisa buat malu sekolah, Bu. Saya saja lebih pintar dari mereka, Bu,” sanggah Marlon, teman kelas saya yang lain.
“Sudah! Sudah! Kalian semua bisa mewakili sekolah. Ibu Guru percaya kalian semua bisa kasih lihat ke kitong guru-guru bahwa kalian pintar, tetapi sekali lagi kalian pu kecerdasan harus diseleksi,” ujar Bu Guru Ester menengahi.
Keesokan harinya kami semua mengikuti seleksi jambore di sekolah. Semalaman saya belajar tentang materi pramuka. Saya sudah menghafal tentang sejarah pramuka, semapur, sandi morse, tali-temali, dan halhal lain yang berkaitan dengan pramuka. Ketika saya sampai di sekolah, semua anak sudah berbaris di lapangan. Ibu Guru Ester memimpin di depan barisan. Dengan rasa malu, saya pun izin masuk ke dalam barisan.
“Mengapa ko terlambat, Luki? Urus anak di rumah?” tegur Bu Guru Ester.
“Tara ada, Bu. Saya tahan mata semalam, Bu Guru,” jawab saya. Tahan mata di Papua artinya bergadang. Saya ingin lulus dalam seleksi peserta jambore. Saya pun belajar hingga larut malam.
“Buat apa tahan mata sampai tengah malam?” tanya Bu Guru Ester.
“Saya belajar, Bu Guru. Saya baca banyak buku tentang pramuka,” jawab saya.
“Baik. Kalau ko tipu-tipu ibu-ibu guru di sini, ko tara bisa ikut seleksi ke Jawa! Sebagai hukumannya ko jadi yang pertama untuk diseleksi,” ucap Ibu Guru Ester.
“Baik, Bu!” jawab saya.
Setelah giliran saya, teman-teman saya yang lain pun diseleksi. Ketika sudah tidak ada lagi anak yang diseleksi, kami diminta untuk menunggu hasilnya. Jantung kami berdegup kencang karena kami tidak sabar menunggu hasil seleksi itu.
“Anak-Anak, kalian su dengan baik ikut seleksi hari ini, tetapi guru-guru tara bisa memilih kalian semua ikut ke Jawa. Jadi, dewan guru di sini sudah sepakat memutuskan. Siswa terpilih itu adalah Luki Desfran Sarwa,” ucap Bu Guru Ester. Saya terkejut sekali. Teman-teman semua memberi selamat kepada saya. Saya menjadi semakin semangat untuk berusaha dan berdoa. Sepulang dari sekolah, saya berbagi cerita dengan Mama dan Bapa di rumah.
“Mama, saya mau pergi ke Jawa! Saya terpilih, Mama. Jambore nasional, Mama!” ucap saya dengan gembira. Mama yang saat itu sedang sibuk membuat minyak kelapa langsung berdiri menyambut saya.
“Betulkah, Luki? Ko tara tipu Mama toh? Puji Tuhan Yang Mahakuasa!” Mama memeluk saya.
“Iya, Mama! Saya tara tipu Mama. Mama bisa tanya sama Asrin dorang dan saya pu teman-teman di sekolah. Ibu Guru Ester yang kasih pengumuman langsung tadi di sekolah,” jelas saya kepada Mama. Dalam percakapan di Papua, jika kami membahas dan menyebut nama orang lain, kami biasanya menambahkan kata dorang di belakang nama orang yang kami bahas. Dorang itu sebenarnya merupakan singkatan dari dia orang.
Mama semakin menambah kuat pelukannya. Saya bisa melihat wajah Mama yang bahagia dan bangga. Lalu, Mama bertanya lagi.
“Kapan ko berangkat ke Jawa, Luki?” tanya Mama.
“Minggu depan, Mama. Ibu Guru Ester dorang bilang begitu,” jawab saya.
“Kok mesti siapkan fisik dan mental, Luki. Tara boleh malu-malu di kota nanti. Semua orang sama saja. Hitam, putih, keriting, dan lurus sama saja. Yang membedakan hanya isi kepala dan isi hati,” kata Mama sambil mengusap kepala saya. Beberapa hari berikutnya saya dilatih di sekolah oleh Ibu Guru Ester. Ibu Guru Ester mengajari saya tentang sejarah pramuka. Ibu Guru Ester juga mengajari saya bermain dengan tali, morse, dan bendera.
Nah, itu dia awal keseruan perjalanan Luki dalam mengikuti Jambore Pramuka Nasional untuk mewakili sekolahnya di Kota Jakarta. Untuk kelanjutan cerita perjalanan Luki bisa teman-teman baca pada buku elektronik di bawah ya